Monday, June 30, 2008

Buku yang membuatku terbahak-bahak!

Oh oh oh... tidak ada buku yang membuat saya tertawa terbahak-bahak seperti ketika membaca novel ini. Kegilaan Iwan Simatupang adalah kegilaan yang brilian! Saya heran jika novel Cala Ibi milik Nukila Amal disebut filosofis. Ziarah adalah novel yang cerdas secara bentuk dan isi!

Saya membayangkan bagaimana jika saya harus membuat pilihan hidup yang absurd seperti tokoh-tokoh dalam cerita ini. Bagaimana bisa seorang kandidat doktor filsafat memilih menjadi opseter kuburan?!

Saya simpulkan, pantas saja orang ada yang mikir kalau belajar filsafat itu nantinya bakal gila, miring, sedeng. Lha kalau saja cerita Iwan ini ada dalam kehidupan nyata, pastilah opseter kuburan itu bukannya dibilang hebat seperti saat kita membacanya dalam fiksi, tapi malahan bakal dianggap gila.

Ya sudahlah, gila sedikit tidak apa-apa toh? Buat yang belum baca, bacalah Ziarah! Jangan terlambat seperti saya.

Sunday, June 22, 2008

Pilih cerita mana?

Saya berpikir-pikir, mengapa kita butuh fiksi dalam hidup kita. Bukankah banyak di antaranya sungguh-sungguh tak bisa dipercaya? Tidak masuk akal? Pernah saya haqqul yakin bahwa agama adalah sebuah mesin penyebar kebohongan. Bayangkan, kita harus menyembah entitas yang tak jelas juntrungannya? Baik atau buruk berpengaruh pada keselamatan pascakehidupan kita? Hmhhh...

Tapi Pi mengantar saya pada sebuah cetusan yang melegakan. Suatu hari setelah selamat dari petualangan di laut selama 227 hari yang serba tak masuk akal, Pi menanggapi sikap tak percaya dua ilmuwan kelautan Jepang dengan kalimat seperti ini:
Don't you bully me with your politeness! Love is hard to believe, ask any lover. Life is hard to believe, ask any scientist. God is hard to believe, ask any believer. What is your problem with hard to believe?

Wow. "What is your problem with hard to believe?" Ya, apa masalah kita dengan cerita yang sulit dimengerti? Bukankah cerita tentang Tuhan juga sulit dipercaya? Tetapi miliaran orang di dunia ini mempercayainya.

Setelah Pi menceritakan versi lain dari pengalamannya yang kering, rasional --dan lebih menyedihkan, akhirnya kedua Jepang memilih cerita pertama yang tak masuk akal. Ya, orang Jepang dengan stereotipe mekanis itu memilih ketidakmasukakalan, cerita yang terdengar fiktif. Toh kedua cerita itu --baik yang masuk akal maupun tidak-- sama-sama tak bisa dibuktikan kebenarannya.

Dan bukankah cerita tentang Tuhan juga begitu. Cerita tentang ada atau tidaknya Tuhan juga sama-sama tidak bisa dibuktikan. Maka, apa anehnya bila manusia kemudian memilih cerita yang lebih seru, tentang sebuah entitas yang tak jelas juntrungannya itu, dilengkapi kisah mukjizat dan keselamatan. Dongeng soal pascakehidupan bahkan prakehidupan (reinkarnasi).

Duh, saya benar-benar merasa disentil Pi. Saya rasa atheis yang berhenti mencari adalah juga yang harus membaca cetusan Pi ini. Biar orang seperti Richard Dawkins mau merogoh lebih ke dalam jiwa para pengiman (juga seniman dan para filsuf).