Monday, July 14, 2008

Pembacaan Ayu Utami atas pengkhianatan Yudas

Sudahkah kau baca novel terbaru Ayu yang berjudul Bilangan Fu itu? Saya sudah. Ayu bercerita tentang pemanjat tebing yang diinspirasi dari kisah pacarnya, Erik Prasetya. Tapi saya pikir bukan cuma Erik yang menginspirasi Ayu, tetapi juga kisah kematian Yesus. Lho, kok Yesus?

Sewaktu membaca kisah ini...saya menangkap adanya tokoh-tokoh yang mewakili pelaku-pelaku utama kisah abad-abad awal masehi itu. Misalnya, tokoh utama yang disebut iblis bernama Yuda. Dia mengingatkan saya pada Yudas murid Yesus. Pacar Yuda (dan juga) Parang Jati, namanya Marja; bukankah nama itu juga bisa dieja Maria? Dan terakhir Parang Jati. Seseorang yang membawa "ajaran baru" pada 12 pemanjat tebing kawanan Yuda. Ajaran baru itu bernama pemanjatan bersih, atau sesuatu yang disebut Yuda sebagai sacred climbing: pemanjatan suci.

Mengapa suci? Karena sebelum Parang Jati datang, para pemanjat ini hampir menghalalkan cara untuk mencapai puncak tebing termasuk mengebor dinding tebing supaya aman. Maka tak salah kalau Jati kemudian disebut sebagai pembawa ajaran baru yang suci itu. Mengebor tebing haram hukumnya bagi penganut sacred climbing.

Nah, nama Jati sendiri, walau terdengar maksa, berasosiasi pada Jesus atau Yesus. Dan bukankah jumlah murid atau rasulnya juga berjumlah 12? Selain ajaran baru pemanjatan suci, Jati juga membuat mempromosikan agama baru yang ia sebut Kejawan Baru untuk mengimbangi monoteisme. Agama yang mempromosikan cinta terhadap bumi; dan dengan demikian melawan penambangan di desanya, para pelaku serta kroco aparatnya.

Yang paling membuat saya ketawa-ketiwi sendiri adalah salah satu tokohnya, yakni kepala desa Pontiman Sutalip. Hahaha... ada-ada saja! Sebelumnya saya merenung, kok rasanya pernah mendengar nama itu. Ternyata nama itu mengingatkan saya pada Pontius Pilatus, Gubernur Romawi di Palestina. Pilatus jika dieja dari belakang ya Sutalip! Pontius Pilatus jadi Pontiman Sutalip...parah!

Sama dengan Gubernur Pilatus yang membiarkan Yesus diadili massa, Kades Sutalip juga membiarkan Jati disiksa kaum Farisi. [oya, ada juga klan Saduki]

Selanjutnya dalam keadaan babak belur Jati "diselamatkan" oleh dua orang militer yang dianggap satria oleh Yuda. Yuda yakin bahwa strategi budaya saja tak cukup, mereka perlu back-up militer yang satria. Namun malang, di perjalanan mereka dihadang dan Jati dibunuh.

Di sinilah Yuda dianggap pengkhianat. Marja yang meninggalkannya menganggap bahwa Yudalah yang membuat Jadi dibunuh. Karena Yuda meminta tolong pada dua satria Karna dan Kumbakarna untuk membawa Jati....

Ah capek, bukannya mereview, malah jadi spoiler!

Monday, June 30, 2008

Buku yang membuatku terbahak-bahak!

Oh oh oh... tidak ada buku yang membuat saya tertawa terbahak-bahak seperti ketika membaca novel ini. Kegilaan Iwan Simatupang adalah kegilaan yang brilian! Saya heran jika novel Cala Ibi milik Nukila Amal disebut filosofis. Ziarah adalah novel yang cerdas secara bentuk dan isi!

Saya membayangkan bagaimana jika saya harus membuat pilihan hidup yang absurd seperti tokoh-tokoh dalam cerita ini. Bagaimana bisa seorang kandidat doktor filsafat memilih menjadi opseter kuburan?!

Saya simpulkan, pantas saja orang ada yang mikir kalau belajar filsafat itu nantinya bakal gila, miring, sedeng. Lha kalau saja cerita Iwan ini ada dalam kehidupan nyata, pastilah opseter kuburan itu bukannya dibilang hebat seperti saat kita membacanya dalam fiksi, tapi malahan bakal dianggap gila.

Ya sudahlah, gila sedikit tidak apa-apa toh? Buat yang belum baca, bacalah Ziarah! Jangan terlambat seperti saya.

Sunday, June 22, 2008

Pilih cerita mana?

Saya berpikir-pikir, mengapa kita butuh fiksi dalam hidup kita. Bukankah banyak di antaranya sungguh-sungguh tak bisa dipercaya? Tidak masuk akal? Pernah saya haqqul yakin bahwa agama adalah sebuah mesin penyebar kebohongan. Bayangkan, kita harus menyembah entitas yang tak jelas juntrungannya? Baik atau buruk berpengaruh pada keselamatan pascakehidupan kita? Hmhhh...

Tapi Pi mengantar saya pada sebuah cetusan yang melegakan. Suatu hari setelah selamat dari petualangan di laut selama 227 hari yang serba tak masuk akal, Pi menanggapi sikap tak percaya dua ilmuwan kelautan Jepang dengan kalimat seperti ini:
Don't you bully me with your politeness! Love is hard to believe, ask any lover. Life is hard to believe, ask any scientist. God is hard to believe, ask any believer. What is your problem with hard to believe?

Wow. "What is your problem with hard to believe?" Ya, apa masalah kita dengan cerita yang sulit dimengerti? Bukankah cerita tentang Tuhan juga sulit dipercaya? Tetapi miliaran orang di dunia ini mempercayainya.

Setelah Pi menceritakan versi lain dari pengalamannya yang kering, rasional --dan lebih menyedihkan, akhirnya kedua Jepang memilih cerita pertama yang tak masuk akal. Ya, orang Jepang dengan stereotipe mekanis itu memilih ketidakmasukakalan, cerita yang terdengar fiktif. Toh kedua cerita itu --baik yang masuk akal maupun tidak-- sama-sama tak bisa dibuktikan kebenarannya.

Dan bukankah cerita tentang Tuhan juga begitu. Cerita tentang ada atau tidaknya Tuhan juga sama-sama tidak bisa dibuktikan. Maka, apa anehnya bila manusia kemudian memilih cerita yang lebih seru, tentang sebuah entitas yang tak jelas juntrungannya itu, dilengkapi kisah mukjizat dan keselamatan. Dongeng soal pascakehidupan bahkan prakehidupan (reinkarnasi).

Duh, saya benar-benar merasa disentil Pi. Saya rasa atheis yang berhenti mencari adalah juga yang harus membaca cetusan Pi ini. Biar orang seperti Richard Dawkins mau merogoh lebih ke dalam jiwa para pengiman (juga seniman dan para filsuf).

Tuesday, January 22, 2008

Buku yang bikin ngos-ngosan

Zen katanya nyengir sendiri waktu baca buku ini, tak tahu kenapa. Saya sih tidak, soalnya yang ada malah ngos-ngosan. Aku beli buku ini karena Pradewi bilang buku ini hebat. Terus, Bambang Sugiharto bilang, “Wah, kamu harus baca buku itu. Menurut saya itu novel terbaik.”
Nah, kebetulan waktu peluncuran Putri Cina karya Sindhunata, Cala Ibi turut dipajang pada deret buku yang dijual. Karena teringat omongan mereka berdua, kubelilah buku itu.
Jujur saja, saya tidak terlalu menikmati gaya bertutur Nukila. Alasan saya lebih menyukai prosa karena saya kurang bisa akrab dengan bentuk tuturan dalam puisi. Lha Nukila ini malah bikin prosa seperti ini. Jadi pada dua bab pertama, saya cape deh.
Kadang-kadang memang Nukila memperlakukan prosanya sebagai permainan bentuk. Seperti puisi. 
“Kau menyeruak si antara semak-semak, pepohonan tumbuh berdekatan, sesekali diterpa sinar bulan jatuh dalam irisan-irisan panjang. Kau menyelinap di antara dua pepohonan, matamu tak lepas dari kunang-kunang yang terbang lambat, putus-putus, padam-nyala, ada-tiada. Matamu mengakrabi remang bentukan-bentukan di sekitarmu, seruang kelam, siluet-siluet lembut saling bersentuhan. Akar-akar menggelantung jatuh di mana-mana, lurus, mengumpar, berkuncir, beterbangan seperti lecut tebal terhalau tanganmu. Jaring laba-laba koyak ketika beradu dengan wajah dan jarimu, lengket di kulit dan rambut. Rerumputan bertunas di gigir batu-batu , tetumbuhan menjalar dan mengombak di sekitar pohon-pohon besar.” Cala Ibi, hlm.256.
Itu mungkin sebabnya St. Sunardi berbaik sangka pada Nukila, kalau karyanya telah memberi sumbangan “dari lingkungan filsafat bahasa.”
Nukila juga sempat menyentuh sedikit tentang cermin, ya, cermin. Pada halaman 21, Nukila menulis, “Kau menatap cermin pada dirinya, bukan dirimu padanya. Selama ini kau hanya menatap dirimu padanya, itupun sekilas-sekilas.”
Jadi sebenarnya Cala Ibi menceritakan apa? Justru itu, saya nggak ngerti. Kok bisa-bisanya ada soal cermin –fase cermin, maksudnya—seperti yang dibicarakan Jacques Lacan.
Mungkin tren filsafat yang penuh dengan rupa-rupa bahasan bahasa menular juga ke dunia sastra. Kali ini dan nanti mungkin kita tak selalu berekspektasi bahwa setiap prosa selalu punya 5W+1H. Kita akan lebih sering lagi bertemu eksperimen bentuk yang lebih aneh lagi.
Sama dengan dunia kepenulisan itu sendiri. Tak perlulah heran kalau sebuah novel serius bisa lahir dari seorang lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata di Bandung, sekolah yang bagi saya…tidak terbayang lah sebelumnya (ini sudah nggak relevan sih , ad hominem).
Nah, sekarang, saya mau belajar membaca lebih baik, supaya tidak ngos-ngosan lagi kalau baca buku agak aneh.

Sunday, January 06, 2008

Tentang Revolusi dan kulit muka yang kontrarevolusioner

Judul : Larasati
Penerbit : Lentera Dipantara, 2000
Tebal : 180 halaman

Larasati adalah roman Pramoedya yang cukup menarik dibaca, di angkot misalnya. Jumlah halamannya cuma 180. Kau bisa bereskan kurang dari 2 jam. Roman ini bercerita tentang gejolak seorang bintang film bernama Larasati di tengah hangatnya Revolusi yang masih dipertahankan dengan berdarah-darah karena Belanda masih merasa Indonesia sebagai Dutch East India.

Roman ini memang tak sebagus roman Tetralogi Pulau Buru. Terlalu kentara revolusi dengan "R" besar. Lekra banget kali ya... Tapi mungkin karya ini relevan di zamannya ketika terbit pada 1960. Lagipula Pram memang hidup di zaman peralihan itu. Ia hidup sejak sebelum republik ini tegak sampai rezim
yang memenjarakannya tanpa peradilan jatuh.

Sayang sekali, semangat Larasati akan Revolusi terganggu oleh penggambaran yang dibuat pembuat cover buku ini. Larasati digambarkan berwajah Eropa. Cukup memperlihatkan bahwa orang Indonesia masih mempunyai inferioritas bangsa terjajah dengan penggambaran cantik ala cover Larasati itu.