Tuesday, January 22, 2008

Buku yang bikin ngos-ngosan

Zen katanya nyengir sendiri waktu baca buku ini, tak tahu kenapa. Saya sih tidak, soalnya yang ada malah ngos-ngosan. Aku beli buku ini karena Pradewi bilang buku ini hebat. Terus, Bambang Sugiharto bilang, “Wah, kamu harus baca buku itu. Menurut saya itu novel terbaik.”
Nah, kebetulan waktu peluncuran Putri Cina karya Sindhunata, Cala Ibi turut dipajang pada deret buku yang dijual. Karena teringat omongan mereka berdua, kubelilah buku itu.
Jujur saja, saya tidak terlalu menikmati gaya bertutur Nukila. Alasan saya lebih menyukai prosa karena saya kurang bisa akrab dengan bentuk tuturan dalam puisi. Lha Nukila ini malah bikin prosa seperti ini. Jadi pada dua bab pertama, saya cape deh.
Kadang-kadang memang Nukila memperlakukan prosanya sebagai permainan bentuk. Seperti puisi. 
“Kau menyeruak si antara semak-semak, pepohonan tumbuh berdekatan, sesekali diterpa sinar bulan jatuh dalam irisan-irisan panjang. Kau menyelinap di antara dua pepohonan, matamu tak lepas dari kunang-kunang yang terbang lambat, putus-putus, padam-nyala, ada-tiada. Matamu mengakrabi remang bentukan-bentukan di sekitarmu, seruang kelam, siluet-siluet lembut saling bersentuhan. Akar-akar menggelantung jatuh di mana-mana, lurus, mengumpar, berkuncir, beterbangan seperti lecut tebal terhalau tanganmu. Jaring laba-laba koyak ketika beradu dengan wajah dan jarimu, lengket di kulit dan rambut. Rerumputan bertunas di gigir batu-batu , tetumbuhan menjalar dan mengombak di sekitar pohon-pohon besar.” Cala Ibi, hlm.256.
Itu mungkin sebabnya St. Sunardi berbaik sangka pada Nukila, kalau karyanya telah memberi sumbangan “dari lingkungan filsafat bahasa.”
Nukila juga sempat menyentuh sedikit tentang cermin, ya, cermin. Pada halaman 21, Nukila menulis, “Kau menatap cermin pada dirinya, bukan dirimu padanya. Selama ini kau hanya menatap dirimu padanya, itupun sekilas-sekilas.”
Jadi sebenarnya Cala Ibi menceritakan apa? Justru itu, saya nggak ngerti. Kok bisa-bisanya ada soal cermin –fase cermin, maksudnya—seperti yang dibicarakan Jacques Lacan.
Mungkin tren filsafat yang penuh dengan rupa-rupa bahasan bahasa menular juga ke dunia sastra. Kali ini dan nanti mungkin kita tak selalu berekspektasi bahwa setiap prosa selalu punya 5W+1H. Kita akan lebih sering lagi bertemu eksperimen bentuk yang lebih aneh lagi.
Sama dengan dunia kepenulisan itu sendiri. Tak perlulah heran kalau sebuah novel serius bisa lahir dari seorang lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata di Bandung, sekolah yang bagi saya…tidak terbayang lah sebelumnya (ini sudah nggak relevan sih , ad hominem).
Nah, sekarang, saya mau belajar membaca lebih baik, supaya tidak ngos-ngosan lagi kalau baca buku agak aneh.

Sunday, January 06, 2008

Tentang Revolusi dan kulit muka yang kontrarevolusioner

Judul : Larasati
Penerbit : Lentera Dipantara, 2000
Tebal : 180 halaman

Larasati adalah roman Pramoedya yang cukup menarik dibaca, di angkot misalnya. Jumlah halamannya cuma 180. Kau bisa bereskan kurang dari 2 jam. Roman ini bercerita tentang gejolak seorang bintang film bernama Larasati di tengah hangatnya Revolusi yang masih dipertahankan dengan berdarah-darah karena Belanda masih merasa Indonesia sebagai Dutch East India.

Roman ini memang tak sebagus roman Tetralogi Pulau Buru. Terlalu kentara revolusi dengan "R" besar. Lekra banget kali ya... Tapi mungkin karya ini relevan di zamannya ketika terbit pada 1960. Lagipula Pram memang hidup di zaman peralihan itu. Ia hidup sejak sebelum republik ini tegak sampai rezim
yang memenjarakannya tanpa peradilan jatuh.

Sayang sekali, semangat Larasati akan Revolusi terganggu oleh penggambaran yang dibuat pembuat cover buku ini. Larasati digambarkan berwajah Eropa. Cukup memperlihatkan bahwa orang Indonesia masih mempunyai inferioritas bangsa terjajah dengan penggambaran cantik ala cover Larasati itu.