Sunday, June 22, 2008

Pilih cerita mana?

Saya berpikir-pikir, mengapa kita butuh fiksi dalam hidup kita. Bukankah banyak di antaranya sungguh-sungguh tak bisa dipercaya? Tidak masuk akal? Pernah saya haqqul yakin bahwa agama adalah sebuah mesin penyebar kebohongan. Bayangkan, kita harus menyembah entitas yang tak jelas juntrungannya? Baik atau buruk berpengaruh pada keselamatan pascakehidupan kita? Hmhhh...

Tapi Pi mengantar saya pada sebuah cetusan yang melegakan. Suatu hari setelah selamat dari petualangan di laut selama 227 hari yang serba tak masuk akal, Pi menanggapi sikap tak percaya dua ilmuwan kelautan Jepang dengan kalimat seperti ini:
Don't you bully me with your politeness! Love is hard to believe, ask any lover. Life is hard to believe, ask any scientist. God is hard to believe, ask any believer. What is your problem with hard to believe?

Wow. "What is your problem with hard to believe?" Ya, apa masalah kita dengan cerita yang sulit dimengerti? Bukankah cerita tentang Tuhan juga sulit dipercaya? Tetapi miliaran orang di dunia ini mempercayainya.

Setelah Pi menceritakan versi lain dari pengalamannya yang kering, rasional --dan lebih menyedihkan, akhirnya kedua Jepang memilih cerita pertama yang tak masuk akal. Ya, orang Jepang dengan stereotipe mekanis itu memilih ketidakmasukakalan, cerita yang terdengar fiktif. Toh kedua cerita itu --baik yang masuk akal maupun tidak-- sama-sama tak bisa dibuktikan kebenarannya.

Dan bukankah cerita tentang Tuhan juga begitu. Cerita tentang ada atau tidaknya Tuhan juga sama-sama tidak bisa dibuktikan. Maka, apa anehnya bila manusia kemudian memilih cerita yang lebih seru, tentang sebuah entitas yang tak jelas juntrungannya itu, dilengkapi kisah mukjizat dan keselamatan. Dongeng soal pascakehidupan bahkan prakehidupan (reinkarnasi).

Duh, saya benar-benar merasa disentil Pi. Saya rasa atheis yang berhenti mencari adalah juga yang harus membaca cetusan Pi ini. Biar orang seperti Richard Dawkins mau merogoh lebih ke dalam jiwa para pengiman (juga seniman dan para filsuf).

3 comments:

Anonymous said...

hmmm tp poin Dawkins bukanlah bahwa it's hard to believe in god (abis kalo cuman ini, bisa dibalikkin kl "selfish gene" jg susa dipercaya; "hard to believe" always goes both ways), melainkan bahwa it's wrong to believe in god hehehe

Lida Handayani said...

hahaha, yayaya... tapi "wrong to believe in god" juga mengandaikan bahwa si 'god' itu memang ada, cuma orang salah kalau percaya bahwa ada dia! jadi ini sama-sama soal believe. hiii....

Anonymous said...

eits, gimana kalo ada orang, misalnya gw, bilang "adala salah untuk percaya 'Roy itu org kelahiran Indonesia'"? apaka ini berarti gw sebenarnya mengandaikan bahwa 'roy itu org kelahiran indonesia" emang demikian adanya, atau, dengan kata lain, gw sebenarnya percaya bahwa roy itu emang kelahiran indonesia, namun menekankan bahwa anda semua salah kalo kalian percaya bahwa 'roy itu org kelahiran indonesia' memang demikian adanya?
kan absurd hehe (gw ngapain dr awal buat pernyataan itu kalo gw memang melakukan pengandaian itu), tp ini konsekuensi dr jalan pikiran di atas. ini classic mind trap dr Plato yg ngebuat semua proposisi negatif jadi meaningless hehehe